Kematian Adalah Kafarah Bagi Setiap Muslim
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Pengertian Kafaroh
Secara bahasa kafaroh كفرة memiliki makna menghapus, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Nu'aim dari Ashim Al Ahwal, dari Anas bin Malik, menyebutkan bahwa Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Kematian adalah kafaroh bagi setiap muslim." (Dho'if Al Jami', karya Al Bani)
Maksud kafaroh dari hadis ini adalah menghapus segala penderitaan dan rasa sakit bagi si mayit selama dia sakit.
Maka dengan demikian meninggalnya seorang muslim, berarti terhapuslah segala penderitaan yang ia rasakan. Karena dengan mati, berarti proses sakaratul maut sudah berlalu, rasa sakit yang ia rasakan karena penyakit juga sudah berlalu.
Kemudian Nabi Sholallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda:
"Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah mengurangi keburukan-keburukannya dengan musibah itu, sebagaimana pohon yang merontokkan daun-daunnya." (Shohih Bukhori-Muslim).
Kemudian, di dalam kitab Al Muwatho'nya Imam Malik, terdapat riwayat dari abu Huroiroh Rodhiyallahu Anhu, dari Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, maka Dia memberinya musibah."
Dengan demikian, sesakit apapun rasa kematian bagi seorang mu'min, baginya adalah kafaroh atas kesalahan dan dosa-dosa yang pernah dilakukannya ketika ia hidup, sehingga ketika dia mati, rasa sakit itu terbayarkan oleh ni'mat kubur dan ni'mat surga setelah hari kiamat.
Sebagaimana dalam sebuah khobar yang ma'tsur, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya aku tidak akan mengeluarkan seseorang dari dunia, sedang Aku berkehendak merahmatinya, sebelum Aku memberinya balasan yang setimpal atas setiap keburukan yang telah dia lakukan, berupa sakit pada tubuhnya, musibah pada keluarga dan anaknya, kesempitan pada penghidupannya, dan kekurangan pada rezekinya. Aku membalasnya sampai kepada keburukan-keburukan seberat biji sawi sekalipun, dan jika masih tersisa, maka akan aku persulit kematiannya. Dengan demikian dia datang kepada-Ku dalam keadaan seperti pada hari dia dilahirkan."
Berbeda dengan orang yang dimurkai oleh Allah dan tidak mendapat ridho-Nya. Ada sebuah khobar yang menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Demi kejayaan-Ku dan keagungan-ku, Aku tidak Akan mengeluarkan seorangpun dari dunia, yang Aku berkehendak mengazabnya, sebelum Aku memberinya balasan yang setimpal atas setiap kebaikan yang telah dia lakukan, berupa kesehatan pada tubuhnya, kelapangan pada rezekinya, kenyamanan pada penghidupannya, dan keamanan pada jalan yang ditempuhnya. Aku memberinya balasan sampai kepada kebaikan-kebaikan seberat biji sawi sekalipun, dan jika masih tersisa dari kebaikannya, maka Aku ringankan kematiannya. Dengan demikian, dia akan datang kepada-Ku dalam keadaan tidak mempunyai satupun kebaikan untuk menjaga dirinya dari neraka."
Hal yang dirasakan mudah yang dialami oleh orang kafir disaat sakaratul maut, ternyata sangat mengerikan. Karena kemudahan yang Allah berikan kepadanya saat sakaratul maut merupakan hukuman dari Allah, agar dosa-dosa mereka tak terhapus.
Disebutkan pula oleh Imam Qurtubi bahasa semakna dengan khobar di atas, ada sebuah hadits dari Abu Dawud dengan sanad yang shohih, yang disebutkan oleh Abu Al Hasan bin Al Hishor, dari Ubaid bin Kholid As Sulami, dari Nabi Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Kematian mendadak adalah hukuman menyedihkan bagi orang kafir."
Sedangkan menurut riwayat At Tirmidzi, dari 'Aisyah Rodhiyallahu 'Anha; "Sesungguhnya mati mendadak itu kenyamanan bagi mu'min, dan hukuman yang menyedihkan bagi orang kafir."
Dengan melihat dua hadits ini, berarti tidak selalu, orang yang dicintai dan diridhoi oleh Allah itu mendapat kesusahan di saat-saat sakaratul maut, ada orang-orang yang beruntung, yang oleh Allah permudah kematiannya.
Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Abas Rodhiyallahu 'Anhuma, bahwa nabi Dawud 'Alaihis Salam meninggal dunia secara mendadak pada hari Sabtu.
Berbaik Sangka dan Takut Kepada Allah Saat Menghadapi Kematian
Di dalam Shohih Muslim meriwayatkan dari Jabir Rodhiyallahu 'Anhu, dia berkata saya mendengar dari Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda:
"Jangan ada seorangpun dari kamu sekalian yang mati, melainkan ia berbaik sangka kepada Allah."
Hadits di atas disebutkan pula oleh Ibnu Abi Ad Dunia dalam kitab Husn Azh Zhanni, dengan ditambahkan, "Karena sesusungguhnya ada suatu kaum yang benar-benar binasa dikarenakan mereka berburuk sangka kepada Allah."
Kemudian dilanjutkan dengan firman Allah, "Maka Allah Tabaroka wa Ta'ala berfirman kepada mereka; Dan yang demikian itu adalah prasangka kamu yang telah kamu sangka terhadap tuhanmu. Prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Fushilat: 23).
Berprasangka baik kepada Allah itu sebenarnya dalam hal apapun, juga terhadap oranglain seyogyanya kita berprasangka baik. Karena dengan begitu hati akan terjaga dari penyakit yang justru menghanguskan segala amal ibadah kita kepada Allah.
Berprasangka Baik dan Takut Kepada Allah Adalah Ciri Seorang Mu'min
Menurut riwayat Ibnu Majah dari Anas Rodhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Sholallahu 'Alaihi wa Sallam pernah menemui seorang pemuda menjelang ajalnya, Beliau bertanya, "Bagaimana kamu rasakan dirimu?"
Pemuda itu menjawab, "Aku mengharap rahmat Allah, wahai Rosulullah, tapi aku takut akan dosa-dosaku."
Maka Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "tidaklah berkumpul (kedua perasaan itu) dalam hati seorang hamba mu'min dalam situasi seperti ini, melainkan Allah memberinya apa yang dia harapkan dan mengamankannya dari apa yang dia takutkan."
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu Abi Ad Dunia dan ditakhrij oleh At Tirmidzi dan menyebutnya hasan-gharib. Ada juga sebagian ahli hadits meriwayatkan hadits ini dari Tsabit, dari Nabi secara mursal.
Sementara itu, At Tirmidzi menyebutkan dalam kitabnya, Nawadir Al Ushul. "Telah bercerita kepada kami Yahya bin Habib, dari Adiy, dari Basyar bin Al Mufadhdhol, dari Auf dari Al Hasan, dari Rosulullah Beliau bersabda:
"Aku tidak akan menghimpun pada hambaKu dua rasa takut, dan tidak (pula) menghimpun padanya dua rasa aman. Barangsiapa takut kepada-Ku di dunia, maka aku beri dia rasa aman di akhirat. Dan barang siapa merasa aman kepada-Ku di dunia, maka Aku beri dia rasa takut di akhirat."
Hadits ini hasan, dikeluarkan pula oleh Ibnu Hibban dan muhaqqiqnya menyatakan bahwa isnad hadits ini hasan.
Rasa takut seorang mu'min terhadap Allah dibuktikan dengan menjalankan taqwa karena takut akan murkanya Allah, berbeda dengan orang yang lalai ia tidak merasa takut ketika melakukan maksiat, hingga kelak di akhirat rasa takut itu muncul ketika menghadap Allah karena takut akan azab yang diterimanya di neraka.
Abu Bakar bin Sabiq Al Umawi, meriwayatkan dari Abu Malik Al Janabi, dari Juwaibir, dari Adh Dhohak, dari Ibnu Abas, dari Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam tentang munajat nabi Musa 'Alaihis Salam yang beliau ceritakan, bahwa Allah berfirman:
يَا مُوْسَى إِنَّهُ لَنْ يَلْقَانِيْ عَبْدٌ لِيْ فِيْ حَاضِرِ القِيَامَةِ إِلَّا فَتَّشْتُهُ عَمَّا فِيْ يَدَيْهِ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ الوَرَ عِيْنَ فَإِنِّيْ أَسْتَحْيِيْهِمْ وَأُجَلِّهِمْ فًأُكْرِمُهُمْ فَأُدْخِلُهُمُ الجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ"Hai Musa, sesungguhnya tidak seorang pun hamba-Ku yang menemui Aku pada hari kiamat melainkan Aku memeriksanya tentang apa yang ada pada kedua tangannya, kecuali dari orang-orang yang waro', karena Aku malu kepada mereka, bahkan Aku mengaggungkan mereka, yakni Aku muliakan mereka, dan Aku masukkan mereka ke dalam surga tanpa hisab."
Cara Berbaik Sangka Kepada Allah Saat Menghadapi Maut
Berbaik sangka kepada Allah yang dilakukan oleh seorang hamba ketika menghadapi kematian hendaklah lebih besar daripada yang dilakukannya ketika sehat, dengan anggapan bahwa Allah mengasihinya, memaafkan dan mengampuni dosa-dosanya.
Kemudian orang-orang yang berada di sisinya juga semestinya mengingatkan hal itu di saat-saat terakhirnya, supaya dia termasuk golongan orang yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِيْ"Aku akan menuruti sangkaan hamba-Ku terhadap-ku." (Shohih Bukhori-Muslim) dalam hadits lain dengan tambahan, "Maka biarlah dia menyangka Aku sekehendaknya."
Menurut riwayat Hamad bin Salamah, dari Tsabit, dari Anas bin Malik Rodhiyallahu 'Anhu, beliau berkata, Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Jangan sekali-kali ada seorang pun dari kamu sekalian mati, kecuali dia berbaik sangka kepada Allah. Karena sesungguhnya berbaik sangka kepada Allah itu adalah bayaran surga."
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, bahwa beliau berkata, "Tiang agama keagungan terbesar dan puncak ketinggiannya adalah berbaik sangka kepada Allah. Barangsiapa dari kamu sekalian mati dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah, dia akan masuk surga dengan manja." Maksudnya dalam keadaan gembira, tanpa rasa takut.
Abdullah bin Mas'ud pun mengatakan, "Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia, tidak seorangpun yang berbaik sangka kepada Allah, melainkan Allah memberi apa yang dia sangka. Hal itu karena segala kebaikan ada pada Allah."
Kemudian Ibnul Mubarok menyebutkan, Sufyan telah menyampaikan bahwa Ibnu Abbas berkata, "Apabila kamu sekalian melihat tanda kematian pada seseorang, maka berilah dia kabar gembira, agar dia menemui Tuhannya dalam keadaan berbaik sangka kepada-Nya. Tapi apabila dia masih hidup, berilah peringatan yang menakutkan."
Menurut Al Fudho'il, "Rasa takut itu lebih utama daripada harap jika seseorang masih sehat, tapi apabila kematiannya akan tiba, maka harap lebih utama daripada rasa takut."
Rasa takut yang menyelubungi hati seseorang ketika sakitnya dirasakan parah yaitu biasanya perasaan takut jika hidupnya takan lama lagi. Sebenarnya wajar, namun seharusnya rasa takutnya itu karena dosa-dosanya kepada Allah, bukan perasaan takut terhadap dunianya yang akan ia tinggalkan.
Manusia sakit atas kemauan Allah, Allah yang berkehendak. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Allah memberikan sakit kepada hamba-Nya bukan berarti itu adalah azab, tapi Allah sedang menghapus keburukan dan dosa-dosa hamba-Nya.
Sesungguhnya Allah menghendaki kebaikan bagi semua makhluk, apalagi kepada orang-orang mu'min. Allah mencintai orang-orang mu'min, maka sudah seharusnya bagi tiap-tiap mu'min berprasangka baik kepada Allah.
Kemudian Ibnu Abi Ad Dunia menceritakan dari Yahya bin Abdullah Al Bashri, dari Siwar bin Abdullah, dari Al Mu'tamir, dia berkata, "Ayahku berkata pada saat menjelang wafatnya; "Hai Mu'tamir, ceritakanlah kepadaku keringanan-keringanan, supaya aku bisa menemui Allah dalam keadaan berbaik sangka kepada-Nya."
Masih kata Ibnu Abi Ad Dunia dari Amr bin Muhammad An Naqid, dari Kholaf, dari Kholifah bin Hushoin, dari Ibrohim, dia berkata, "Dulu orang-orang suka memberitahukan kepada orang yang akan meninggal tentang amal-amal baiknya, sehingga dia berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla."
Menguatkan hal di atas, Tsabit Al Bunani bercerita tentang seorang pemuda yang melakukan kebodohan. Ketika dia akan mati, ibunya mendekap tubuhnya seraya berkata, "Wahai anakku, aku sering memperingatkanmu tentang kesudahan yang kini kau alami."
Pemuda itu menjawab, "Wahai ibunda, sesungguhnya aku punya Tuhan yang banyak memberi kebajikan, dan sungguh hari ini aku berharap akan memperoleh sebagian dari kebajikan-Nya." Demikian cerita dari Tsabit.
Demikian pula Umar bin Dzar, pada suatu hari berbicara di hadapan Ibnu Abi Dawud dan Abu Hanifah, "Ya Tuhanku, hendakkah engkau mengazab kami, sementara dalam lubuk hati kami masih terdapat tauhid? Aku fikir Engkau tidak akan melakukan itu. Ya Allah ampunilah orang yang masih tetap dalam keadaan tukang-tukang sihir (masa fir'aun) itu, pada saat-saat di mana Engkau mengampuni mereka, yakni ketika mereka berucap, "Kami beriman kepada Tuhan semesta alam." (Asy Syu'raa: 47).
Mendengar ucapan itu, Abu Hanifah berkata, "Semoga Allah merahmatimu, tetaplah haram mengikuti caramu itu."
Perlu digaris bawahi, bahwa praktek dukun dan tukang-tukang sihir adalah perbuatan syirik, dan tidak syah tauhid seseorang dengan melakukan perbuatan syirik, mengatakan bahwa Allah itu Maha Tunggal tapi dalam prakteknya malah menduakan-Nya, dan dengan entengnya mengharap ampunan pula. Sebagaimana dijelaskan pada artikel sebelumnya, bahwa perbuatan ini merupakan suatu kebodohan.
Berprasangka baik kepada Allah bagi tiap-tiap muslim adalah sebuah keharusan, tapi bukan dengan cara memohonkan ampunan kepada Allah atas orang-orang musyrik. Maka pantas jika Abu Hanifah mengatakan, bahwa mengikuti cara Umar bin Dzar itu haram, meski demikian Imam Abu Hanifat tetap mendo'akan yang baik terhadap Umar bin Dzar. Wallahu a'lam.
Melanjutkan bahasan tentang berprasangka baik kepada Allah, Imam Qurthubi juga mengutip sebuah riwayat dari Imam Ath Thobari, yang menyebutkan bahwa nabi Yahya bin Zakariya apabila menemui nabi Isa bin Maryam Alaihis Salam, beliau cemberut.
Berbeda dengan nabi Isa Alaihis Salam, apabila beliau menemui saudaranya itu, beliau tersenyum. Maka nabi Isa pun bertanya, "Engkau temui aku dengan wajah cemberut, sepertinya engkau putus asa?" Nabi Yahya menjawab, "Engkau menemui aku dengan tersenyum, seperti orang yang aman saja."
Maka Allah menurunkan wahyu kepada keduanya; "Sesungguhnya orang yang lebih Aku sukai dari kalian berdua, ialah orang yang lebih baik sangkanya kepada-Ku." Demikian kata Imam Ath Thobari.
Jangan Memutus Rahmat dan Berputus Asa Terhadap Rahmat Allah
Sementara itu Zaid bin Aslam bercerita, Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat, lalu Allah memerintahkan kepada malaikat, "Bawalah orang ini ke neraka." Kemudian orang tersebut protes, "Mana Sholat dan puasaku?" Maka Allah menegaskan, "Pada hari ini Aku putuskan kamu dari rahmat-Ku, sebagaimana kamu dulu membuat hamba-hamba-Ku putus asa tethadap rahmat-Ku."
Berkaitan dengan semua itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Tidak ada (orang) yang berputus asa terhadap rahmat Tuhan-Nya, kecuali orang-orang yang sesat." (Al Hijr: 56).
Rahmat dari Allah adalah yang menjadi sebab, seseorang diterima amal ibadahnya dan diampuni segala dosa-dosanya, maka jangan pernah bangga dengan amal ibadah yang telah kita kerjakan, karena sesungguhnya semua itu atas izin Allah.
Amal ibadah yang kita kerjakan bukanlah jaminan bisa masuk ke dalam surganya Allah. Karena sesungguhnya manusia tidak mempunyai kekuatan dan tidak memberikan pengaruh apapun kecuali atas kehendak Allah.
Maka harus disadari betul, bahwa mampunya seseorang mengerjakan ibadah adalah karena taufik dan hidayah dari Allah, bukan karena kemampuan diri sendiri. Sehingga dengan demikian hilanglah perasaan sombong karena semuanya atas kehendak Allah.
Jangan pula berkecil hati untuk selalu berharap agar Allah memberikan rahmat-Nya kemudian memberikan ampunan-Nya. Karena sebesar apapun dosa seorang hamba, kecuali dosa syirik, maka akan diampuni oleh Allah selama hamba-Nya itu bertobat.
Kemudian Islam juga memerintahkan kepada pemeluknya untuk saling tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa bukan dalam perbuatan maksiat dan dosa. Juga jangan memutuskan rahmat Allah dari seseorang sebagaimana yang disebutkan oleh Zaid bin Aslam di atas.
Maksudnya, jangan mematahkan semangat oranglain yang ingin bertobat untuk kembali ke jalan Allah, dengan melihat keburukannya kemudian membandingkannya dengan diri kita yang seolah-olah sudah menjadi orang yang paling baik. Karena memandang oranglain dengan pandangan merendahkan, bisa menjadi sebab diputusnya rahmat oleh Allah. Na'udzu billahi min dzalik.
Penutup
Setelah menyimak penjelasan dari ulama di atas, dengan mengutip hadits dan ayat-ayat Al Qur-an. Maka harus disadari bahwa apa yang sudah Allah tentukan merupakan ketentuan yang tak bisa ditolak, musibah terbesar yang dialami oleh setiap orang yakni kematian adalah dalil bahwa tak ada yang kelal di dunia ini.
Semoga kita menjadi orang selalu berbaik sangka kepada Allah dan semakin takjub serta memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala juga bersyukur kepada-Nya atas ni'mat iman dan ni'mat Islam yang telah diberikan-Nya, sebagai bekal kelak, dengan harapan mati dalam keadaan husnul khotimah. Amiin...
Post a Comment for "Kematian Adalah Kafarah Bagi Setiap Muslim"
Silahkan tinggalkan komentar tanpa menyertakan link