Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
Apakah Diterima Taubatnya Orang yang Akan Meninggal Dunia?

Apakah Diterima Taubatnya Orang yang Akan Meninggal Dunia?

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Ketika Orang yang Akan Meninggal Dunia Mulai Tak Mengenali Orang-orang di Sekelilingnya

Pada bab ini, Al Imam Al Qurthubi Rohimahullahu Ta'ala menjelaskan, kapan orang yang akan meninggal dunia mulai tak mengenali orang-orang di sekelilingnya, dan dijelaskan pula tentang anjuran bertaubat menurut agama, dan siapakah yang boleh disebut benar-benar bertaubat.

Untuk menjawab pertanyaan tentang, kapan orang yang akan meninggal dunia itu mulai tidak mengenali orang-orang di sekelilingnya? Tentu dibutuhkan keterangan yang valid, yang sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam. Karena dewasa ini orang-orang seakan belum puas hanya mendapatkan keterangan langsung dari ulama tanpa disertai dalil, padahal itu datangnya dari ucapan ulama yang ditulis di dalam kitab karangannya.

Di dalam kitabnya, Al Imam Al Qurthubi mengutip hadits dari Ibnu Majah yang meriwayatkan bahwa Abu Musa Al Asy'ari pernah bertanya kepada Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam: "Kapankah orang mulai tidak mengenal sesama manusia?" Maka Rosulullah menjawab, "Apa bila dia melihat kenyataan (maut)." (H.R. Ibnu Majah No. 1453).


Melihat Kenyataan Maut

Maksud dari apa yang disampaikan hadits di atas tentang "Melihat kenyataan." adalah apabila orang yang akan meninggal itu melihat dengan mata-kepalanya sendiri akan kehadiran Malaikat Maut atau para malaikat lainnya. Demikian kata Imam Qurthubi. Wallahu a'lam.

Maka jawabannya jelas, bahwa orang mulai tidak mengenal orang-orang di sekelilingnya pada saat maut akan menjemput. Sehingga seorang yang akan meninggal, meskipun masih ada nyawa di badannya, dia tidak akan merespon apapun yang dilakukan orang di sekelilingnya.

Di saat-saat seperti inilah orang yang akan meninggal dunia akan sulit mendapatkan peringatan dari orang di sekelilingnya untuk senantiasa mengingat Allah dan memohonkan ampunan-Nya.


Akankah taubat orang yang akan meninggal dunia itu diterima oleh Allah? 

Imam Qurthubi menyebutkan sebuah hadits dari Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam:

"Sesungguhnya Allah masih menerima taubat seseorang, selagi belum terdengar dengkurnya (sebelum mati)." (H.R. At Tirmidzi No. 1903. Hadits ini hasan).

Dari hadits ini Imam Qurthubi memberi penjelasan, bahwa selagi nyawa seseorang belum sampai ke tenggorokan, dimana orang itu melihat kesudahan hidupnya, apakah mendapat rahmat atau kehinaan. Ketika itulah taubat dan iman tidak lagi bermanfaat, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur-an:

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ المَوْتُ قَالَ إِنِّى تُبْتُ الئنِ
"Dan tidaklah taubat itu (diterima Allah) dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seorang dari mereka, (barulah) dia mengatakan; sesungguhnya saya bertaubat sekarang." (An Nisa: 18)

Dari ayat di atas, Imam Qurthubi memberikan penjelasan, bahwa pintu taubat sebenarnya selalu terbuka lebar bagi manusia, sampai dia melihat malaikat pencabut nyawa, yaitu ketika mulai terdengar suara dengkuran ditenggorokan menjelang nyawanya dicabut.

Suara dengkuran itu mulai terdengar apabila urat jantungnya telah terputus, lalu suara itu naik dari dada ke tenggorokan, ketika itulah dia melihat Malaikat Maut, ketika itulah dia menyaksikan kematiannya.


Anjuran Segera Bertaubat

Sebelum nyawa dicabut oleh Malaikat Maut, seperti yang dijelaskan di atas, maka manusia wajib bertaubat. Itulah kiranya taubat yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ
"Kemudian mereka bertaubat dengan segera." (An Nisa: 17).

Menurut Ibnu Abbas dan As Sudi, kata-kata "Min qoriib." (Dengan segera) pada ayat ini, maksudnya adalah sebelum sakit dan meninggal.

Adapun menurut Abu Mijlaz, Adh Dhohhak, Ikrimah, Ibnu Zaid dan para ulama lainnya, yaitu sebelum melihat para malaikat, sebelum dicabut nyawanya, dan sebelum orang yang bersangkutan tidak sadarkan diri.

Dari apa yang sudah disampaikan oleh ulama di atas, maka harus difahami bahwa selagi kita sehat, maka kita jangan pernah meninggalkan taubat, dan ketika kita ditimpa sakit, maka merasa takutlah kita dan bertaubatlah, karena kita tidak pernah tahu apakah kita selamat dari maut ketika sakit.

Dalam ilmu tashouf, taubat adalah sebaik-baiknya maqom bagi seorang mu'min, karena tanpa taubat maka tidak ada maqom. Seperti halnya sebuah bangunan, maka taubat itu sebagai landasan/tanah, tanpa ada tanah maka takan pernah berdiri sebuah bangunan. (Syekh Abdul Wahab Asy Sya'roni di dalam kitab Minahus Saniyah)

Tak ada manusia yang lolos dari salah dan dosa, itulah sebab kenapa ulama sangat menganjurkan kita untuk selalu bertaubat dengan memperbanyak istighfar dan tidak mengulangi perbuatan dosa.

Imam Qurthubi
Pinterest

Sebagaima sebuah sya'ir dari Mahmud Al Waroq menyebutkan:

Utamakan taubat bagi dirimu
Sebagaimana diharapkan bagi kebaikanmu
Sebelum kematian datang menjelang
Sebelum kelu lidahmu berbincang

Taubatlah segera wahai jiwa yang ingin tenang
Karena taubat adalah simpanan kekayaan
Kunci rapat jangan sampai terbuang-buang
Bekal kembali membawa kemenangan


Bertaubat Sebelum Malaikat Maut Datang

Dengan mengambil kaul dari mayoritas ulama, Imam Qurthubi mengatakan, bahwa bertaubat sebelum hadirya Malaikat Maut itu dibenarkan, tak lain adalah karena pada saat itu masih ada harapan, dan masih dibenarkan orang yang menyesal dan bertekad meninggalkan kemaksiatan.

Kemudian menyambung ayat di atas dari surat An Nisa yang menyebutkan, "Min qoriib." (Dengan segera), ada pula ulama yang mengatakan bahwa maknanya adalah mereka bertaubat pada saat baru saja melakukan suatu dosa dan tidak kembali melakukannya.

Mensegerakan bertaubat selagi masih muda dan sehat adalah lebih utama dan lebih patut dilakukan. Karena dengan demikian diharapkan masih banyak kesempatan untuk beramal saleh, dan barangkali masih jauh sekali dari kematian. Meskipun bertaubat sebelum dekat kematian pun masih bisa disebut dengan segera. Demikian kata Adh Dhohhak.

Dari Al Hasan Bashri, bahwa ketika iblis disuruh turun dari surga, ia berkata, "Demi keagungan-Mu, aku tidak akan membiarkan manusia selagi nyawanya masih ada dalam tubuhnya." Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Demi Keagungan-Ku, Aku tidak akan menolak taubat dari manusia selagi nyawanya belum sampai ke tenggorokan."

Dengan demikian terjawablah, bahwa batas akhir diterimanya taubat seorang muslim yaitu sebelum dicabut nyawanya, yakni sebelum dia mendengkur pada tenggorokannya saat sakarotul maut.


Hukum Taubat 

Hukum bertaubat itu fardhu yang artinya wajib, tentunya wajib bagi tiap-tiap mukalaf (fardhu a'in), yang bila dikerjakan mendapat pahala, namun bila ditinggalkan mendapat siksa.

Dari sini dapat kita fahami kenapa para 'alim ulama tak pernah meninggalkan taubat, kenapa para waliyullah, bahkan Rosulullah yang dimaksum dari perbuatan salah dan dosa pun, senantiasa bertaubat, dengan tidak meninggalkan istighfar, dalam sehari tidak kurang dari 100 kali beristighfar. Itu karena ada perintah dari Allah.

Adapun dalil diwajibkannya hukum bertaubat yaitu berdasarkan firman Allah dalam Al Qur-an surat An Nur ayat 31, yang menyebutkan:

"Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung."

Dan ayat lain yang menyebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya." (At Tahrim: 8).

Dengan adanya ayat yang menyebutkan perintah Allah agar manusia bertaubat, maka ulama sepakat bahwa hukum bertaubat itu wajib bagi tiap-tiap muslim yang berakal dan baligh (mukalaf).


Syarat-syarat Bertaubat 

Adapun syarat-syarat taubat menurut Imam Qurthubi yaitu ada empat yang harus dilakukan, diantaranya yaitu:
Penyesalan dengan sepenuh hati. Meninggalkan maksiat saat itu juga. Bertekad bulat tidak akan mengulangi perbuatan yang sama. Rasa malu dan takut kepada Allah Ta'ala, bukan kepada selain-Nya.

Jika salah-satu dari syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka tidak syah taubatnya.

Ada pula pendapat lain yang menyebutkan, bahwa syarat-syarat taubat itu ada dua yaitu mengakui dosa, dan banyak beristighfar yang berakibat lepasnya sama sekali dari ketagihan berbuat dosa dan berpengaruh nyata terhadap sikap hati. Bukan sekedar ucapan dengan lidah.

Adapun orang yang dengan lidahnya mengucapkan, "Astaghfirullah." Sedagkan hatinya tetap ingin melakukan maksiat, maka menurut Al Hasan Bashri, istighfarnya itu masih memerlukan istighfar. Karena jika tidak, maka dosa-dosa kecil yang dilakukannya malah akan berlanjut dengan dosa besar.

Istighfar yang masih memerlukan istighfar, maksudnya bagaimana?

Sayid Abdul Wahab Asy Sya'roni di dalam kitabnya, Minahus Saniyah berkata, bahwa salah satu dosa yang harus ditaubati dalam permulaan taubat, salah satunya yaitu mentaubati bahwa dirinya sudah bertaubat.

Artinya jangan merasa bangga ketika seseorang bertaubat dihadapan Allah, setelah sholatnya. Maka seharusnya dia merendahkan diri serendah-rendahnya dan menyadari sebagai makhluk yang lemah di hadapan Allah. Harus merasa takut kepada murka Allah, sehingga jera, tidak mau lagi bermaksiat.

Yang sering luput dari perhatian kita di dalam beristighfar adalah masalah qolbu yang sesungguhnya bisa berdampak pada sikap kita kepada Allah dan kepada manusia lainnya.

Kita tahu bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat, sehingga dengan entengnya kita berfikir bahwa sebesar apapun dosa kita, Allah pasti mengampuni. Sehingga dengan mudahnya kita bertaubat dan dengan mudah pula kembali tergelincir ke dalam dosa. Istighfar kita hanya sebatas lisan, dan tidak mengubah perilaku.

Imam Qurthubi memberi penjelasan, bahwa, di zaman kita sekarang ini, saat manusia tampak getol melakukan kedhzoliman, bahkan semakin bergairah, tanpa mau berhenti darinya, sementara tangannya memegang tasbih.

Imam Qurthubi menambahkan, orang yang beristighfar sebatas lisan menyangka, bahwa istighfarnya itu sudah meleburkan dosa-dosanya. Padahal itu justru merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap Allah. Orang tersebut termasuk kedalam golongan orang-orang yang menjadikan ayat-ayat Allah Ta'ala sebagai bahan ejekan dan permainan. Karena dalam Al Qur-an ditegaskan:

"Janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah permainan." (Al Baqoroh: 231).


Pengertian Taubat

Imam Qurtubi rohimahullahu ta'ala, di dalam mengartikan taubat, menukil sebuah riwayat dari Sayidina 'Ali karomallahu wajhah yang pernah melihat seseorang seusai sholatnya berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu dengan segera."

Kemudian Sayidina 'Ali menanggapi, "Apa ini?? Sesungguhnya cepatnya lidah beristighfar adalah taubatnya para pendusta, dan taubatmu itu membutuhkan taubat lagi."

Orang itu bertanya, "Wahai Amirul Mu'minin, apakah sebenarnya taubat itu?"

Sayidina 'Ali menjawab, "Taubat adalah sebuah kata yang memiliki enam arti; 1). Taubat atas dosa-dosa yang telah lalu, yakni menyesal. 2). Taubat atas melakukan kewajiban-kewajiban secara serampangan, yakni mengulang kewajiban yang sudah dikerjakan. 3). Taubat atas mengambil barang oranglain secara dzholim, yakni mengembalikan kepada pemiliknya. 4). Membiasakan diri melakukan keta'atan, sebagaimana sebelumnya terbiasa melakukan kemaksiatan. 5). Membuat nafsu merasakan pahitnya ta'at, sebagaimana sebelumnya merasakan manisnya maksiat. 6). Menghiasi diri dengan ta'at kepada Allah, sebagaimana sebelumnya menghiasinya dengan maksiat kepada Allah, serta menangis sebagai ganti tiap-tiap tawa yang kamu lakukan."

Jadi taubat itu tak sekedar mengucap istighfar, tapi dengan mentaubati dosa-dosa yang telah lalu, baik dosa yang kecil maupun dosa besar, dengan menjauhinya. Sebagai bukti yang harus dilakukan oleh seseorang ketika bertaubat.

Kemudian yang ke dua yaitu menjalankan ibadah dengan sungguh-sugguh, karena yang kita ibadahi yaitu Dzat yang Maha Agung, maka tidaklah pantas ketika kita menyembah-Nya dengan serampangan, artinya tidak sungguh-sungguh, sementara kita mengharap ampunan-Nya.

Ke tiga mentaubati perbuatan mengambil hak oranglain yakni mencuri, karena dalam Islam perbuatan mencuri itu tidak dibenarkan. Bahkan untuk alasan kebaikan pun mencuri tetap tidak diperbolehka, seperti seseorang yang mengambil air wudhu dari air milik oranglain tanpa seizin yang punya, maka haram hukumnya, sebagaimana disebutkan oleh syekh Zainudin Al Malibari di dalam kitab Fathul Mu'in.

Ke empat membiasakan diri melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dengan sungguh-sungguh, tanpa menunda-nunda dan harus dipaksa, untuk menghilangkan rasa malas. Karena sungguh melaksanakan ta'at dalam taubat itu merupakan hal yang berat bagi yang terbiasa melakukan maksiat.

Ke lima melatih syahwat dengan dipaksa melaksanakan ta'at. Meski dirasakan tidak mengenakkan dan terasa pahit, tak seenak ketika melakukan maksiat, namun ada ketenangan batin ketimbang melakulan maksiat yang keni'matannya hanya sesaat. Dengan terbiasa melakulan ta'at, maka lama kelamaan dia akan merasakan lezatnya iman.

Terakhir yang ke enam, yaitu menghiasi diri dengan melaksanakan ta'at kepada Allah. Artinya, ucap, tekad dan perbuatan kita harus selaras dengan apa yang diridhoi oleh Allah. Seperti menghilangkan kebiasaan berkata-kata kasar, menghilangkan penyakit hati yang akan menghanguskan amal ibadahnya, kemudian menjauhi perilaku yang merugikan dirinya dan oranglain.


Taubat Nasuha

Apa itu taubat nasuha?

Untuk mengetahui pengertian taubat nasuha, mari kita simak apa kata Al Imam Al Qurthubi rohimahullahu ta'ala dengan mengutip penjelasan dari ulama, sebagai bentuk tawadhu kita dan adab terhadap para ulama.

Abu Bakar Al Waroq berkata, "Taubat hendaklah dilakukan semurni-murninya (nasuha), yaitu dengan merasa betapa sempit dunia ini, meski sebenarnya sangat luas, dan betapa sesak hatimu, sebagaimana dirasakan oleh tiga orang sahabat Nabi yang tidak ikut berperang."

Sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur-an surat At Taubah ayat 118, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allooh-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."

Adapun ketiga sahabat yang dimaksud pada ayat ini yaitu Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Muroroh bin Robi. Mereka bertiga adalah sahabat Anshor yang meninggalkan Rosulullah yang pergi ke medan perang, kemudian mereka merasa menyesal, dan tak ada jalan bagi mereka untuk menebus penyesalan dan kesalahan mereka yang dilanda perasaan sempitnya dunia dan sesaknya dada mereka, kecuali bertaubat kepada Allah, kemudian Allah menerima taubat mereka dan mengampuninya.

Kemudian, ada juga yang mengartikan bahwa taubat nasuha itu adalah mengembalikan barang-barang yang diambil secara dzholim, meminta maaf kepada para seteru, dan terus menerus melakukan keta'atan-keta'atan.


Jenis-jenis Dosa yang Harus Ditaubati dan Cara Mentaubatinya

Sebagian ulama berpendapat, bahwa tidak ada yang namanya dosa kecil, karena ketika seseorang bermaksiat melakukan dosa, berarti dia sedang bermaksiat terhadap Allah, menentang hukum-hukum-Nya sekalipun dia tidak sadar atau tidak faham bahwa itu salah menurut syari'at, apalagi jika dia itu faham tentang hukum syari'at.

Imam Qurthubi menjelaskan bahwa secara garis besar dosa-dosa yang harus ditaubati itu bisa berupa kekufuran dan dosa-dosa yang lain. Namun memang, yang paling sulit itu diterimanya taubat yaitu dosa seorang muslim yang melakukan kekufuran.

Bagi orang kafir asli yang mentaubati kekafirannya, dia tak sekedar beriman dengan persaksian dan membenarkan bahwa tidak ada Tuhan yang disembah kecuali Allah dan Muhammad itu utusan-Nya, tetapi juga harus menyesali kekafirannya dengan melaksanakan ta'at tapi tidak perlu melakukan kafarah ataupun qodho' sebagaimana muslim yang bertaubat. Karena bagi mereka para mu'alaf telah Allah hapus dosa-dosanya ketika dia masih kafir.

Sedangkan dosa-dosa seorang muslim, seperti pelanggaran terhadap hak-hak Allah, diantaranya seperti meninggalkan sholat dan puasa yang wajib tanpa adanya udzur, maka cara mentaubatinya yaitu dengan menyesalinya dan mengqodho'nya.

Adapun cara mentaubati dosa selain dosa meninggalkan sholat dan puasa, yaitu dengan meninggalkan perbuatan yang dibenci oleh Allah. Sedangkan terhadap pelanggaran sumpah ditaubati dengan cara melaksanakan kafarah.

Selain pelanggaran terhadap hak-hak Allah yang merupakan dosa yang harus ditaubati oleh seorang muslim, juga ada dosa karena melanggar hak-hak oranglain yang harus ditaubati, seperti hutang misalnya. Cara mentaubatinya yaitu dengan disampaikan haknya (membayar hutang jika hutang) sehingga ia menerimanya.

Namun, jika memang orang yang bersangkutan tidak ada, maka cara menyelesaikan permasalahannya agar dosa-dosanya itu terhapus yaitu dengan bersedekah atas nama orang yang hak-haknya kita langgar atau kita ambil.

Barangsiapa tidak bisa melepaskan diri dari dosa-dosa terhadap sesama manusia dengan cara bersedekah atau mengembalikan hak-hak mereka, karena kemiskinan umpamanya, maka cara satu-satunya yaitu berharap kepada Allah agar dosa-dosanya itu diampuni. Karena seperti kita tahu bahwa Allah Maha Pengampun, asal kitanya benar-benar melakukan taubat.

Penting bagi seorang mu'min untuk sering minta dihalalkan kepada saudaranya dari dosa dengan meminta ma'af, dan guru kami memberikan tips yang paling efektif untuk meminta ma'af jika memang permintaan maaf kita malah jadi modhorot, yaitu dengan cara memanfaatkan majelis ilmu. Karena biasanya setelah selesai kajian dan do'a, tiap-tiap jema'ah saling bersalaman.

Selain di majelis ilmu, juga bisa memanfaatkan moment lebaran. Karena ketika berlebaran orang saling ma'af mema'afkan. Karena permintaan maaf kita bisa saja jadi masalah, bahkan bisa memutus tali silaturahmi bila kita berterus terang kepada orang bersangkutan. Seperti dosa bergunjing, akan menjadi masalah bila kita meminta ma'af dengan terus terang kepada orang yang bersangkutan.


Sifat-sifat Orang yang Bertaubat

Ada beberapa sifat yang menjadi ciri-ciri orang yang sudah bertaubat diantaranya seperti hadits yang disebutkan Imam Qurthubi berikut ini. Haditsnya marfu', diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda di tengah-tengah para sahabat:

"Tahukah kamu siapakah orang yang bertaubat?"

Para sahabat menjawab, "Tidak, demi Allah."

Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika seseorang bertaubat, sedang seteru-seterunya tidak ridho, berarti dia belum bertaubat. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak merubah pakaiannya, berarti dia belum bertaubat. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak mengubah majlisnya, berarti dia belum bertaubat. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak mengubah nafkah dan perhiasannya, berarti dia belum bertaubat. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak merubah tempat tidur dan bantalnya, berarti dia belum bertaubat. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak melapangkan perangainya, berarti dia belum bertaubat. Barangsiapa bertaubat, sedang, sedang ia tidak melapangkan hati dan telapak tangannya, berarti dia belum bertaubat."

Kemudian Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila dia bertaubat dari perangai-perangai tersebut, berarti dia sudah bertaubat."

Dari hadits ini Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa kriteria orang yang sudah bertaubat itu diantaranya yaitu berdamai dengan orang yang menjadi seterunya dengan meminta ma'af, karena jika dia belum melakukan hal tersebut berarti belum bisa dikatakan taubat.

Bila seseorang bertaubat, namun dia belum merubah cara berpakaiannya yang sesuai dengan syar'i, seperti memperlihatkan aurat, bercelana pendek dan lain sebagainya. Maka seyogyanya orang yang bertaubat harus bisa merubah cara berpakaiannya, minimal tidak memperlihatkan aurat dan lekuk tubuhnya.

Karena di dalam fiqih dijelaskan bahwa muslim yang suka menggunakan celana pendek adalah orang fasik, dan orang fasik tidak syah dijadikan sebagai saksi dalam pernikahan (lihat dalam kitab Fathul Mu'in pada pembahasan fiqih munakahat bab nikah).

Orang yang bertaubat harus bisa meninggalkan tempat-tempat tongkrongan yang tidak ada manfaatnya, kemudian membiasakan diri rajin menghadiri majlis ilmu agar bertambah ilmu agamanya dan mendapatkan pencerahan dari guru-guru berdasarkan keterangan ulama.

Karena di majlis ilmu kita mendapatkan nasehat-nasehat dari ulama dan kisah-kisah orang shaleh, disamping itu juga mendapat keberkahan karena berkumpul bersama para 'alim dan orang-orang shaleh. Maka dengan begitu dia termasuk orang yang bertaubat.

Kemudian orang yang bertaubat juga harus meninggalkan pekerjaan yang haram, karena melalui nafkah dengan cara haramlah penyebab terbesar permasalahan dalam keluarga kita, karena memakan rizki yang tidak halal yakni rizki yang tidak berkah. Juga tidak bermewah-mewahan selain untuk di jalan Allah.

Karena kata mewah itu relatif, tergantung sudut pandang. Seperti orang kaya yang menggunkan mobil sedan akan dipandang mewah oleh orang miskin. Padahal bagi si kaya, mobil adalah kendaraan yang mempermudah dia untuk mengerjakan tugas dan kewajibannya.

Yang salah itu ketika harta yang dititipkan oleh Allah digunakan untuk maksiat, karena sesungguhnya pada orang-orang kaya ada maqom zuhud, jika hartanya itu ia pergunakan di jalan Allah.

Kemudian orang yang beraubat juga jangan keenakan tidur kemudian melewatkan waktu untuk Allah seperti qiyamu lail, apalagi sampai melewatkan waktu Shubuh. Artinya sebisa mungkin dia harus bisa melawan rasa malas, diganti dengan ta'at. Seperti bangun di sepertiga malam untuk bermunajat memohon ampunan Allah dan ibadah-ibadah yang lain.

Kemudian orang yang bertaubat juga harus bisa belajar menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruknya dan kelakuannya, seperti berkata-kata kasar, su'ul adab dan lain sebagainya, diganti dengan perilaku yang sopan dan toleran terhadap sesamanya.

Dan yang terakhir harus mampu melapangkan hati dan tangannya, artinya ikhlas dalam beramal dan berinfaq. Maka dengan demikian, jika semua itu dikerjakanya maka baru bisa disebut taubat nasuha.

Dan dengan sifat Maha Pemurah-Nya, Allah akan mengampuni dosa-dosa hambanya tersebut, begitupun dengan dua malaikat pencatat amal dan seluruh penjuru bumi akan melupakan segala kesalahan dan dosa-dosanya. Sebagaimana firman Allah yang menyebutkan:

وَاِنِّيْ لَغَفَّارٌ لِّمَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدٰى
"Dan sesungguhnya aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar."


Peluang Untuk Bertaubat

Ada hikayat yang masyhur tentang taubatnya seorang pembunuh yang sebutkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hiroiroh rodhiyallahu 'anhu yang bercerita, bahwa ada seseseorang yang telah membunuh seratus orang kemudian bertanya kepada seorang 'alim, apakah dia boleh bertaubat?

Maka orang 'alim itu menjawab, "Siapa yang dapat menghalangi kamu bertaubat? Tapi pergilah kamu ke negri bani fulan, karena di sana banyak orang shaleh yang senantiasa beribadah kepada Allah. Ikutlah kamu beribadah kepada Allah bersama mereka, dan jangan kembali ke negrimu, karena negrimu itu tempat orang-orang jahat."

Tak hanya hadits ini, ada beberapa hadits lain sebagai referensi tentang peluang taubat bagi seseorang yang ingin bertaubat, yang dijelaskan oleh Imam Qurthubi, diantaranya hadits di dalam kitab Musnad Imam Abu Daud Ath Thoyalisi, Zuhair bin Mu'awiyah, dari Abdul Karim Al Jazari, dari Ziyad (bukan Ibnu Abi Matyam), dari Abdullah bin Mughafal, berkata, "Aku pernah menemani ayahku, waktu itu aku berada di sebelahnya di hadapan Abdullah bin Mas'ud rodhiyallahu 'anhu, ayahku berkata:

"Apakah engkau mendengar Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda. Sesungguhnya apabila seseorang mengakui dosanya, kemudian dia bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah menerima taubatnya?"

Ibnu Mas'ud menjawab, ya aku mendengar Beliau bersabda, "Penyesalan adalah taubat."

Kemudian di dalam Shohih Al Bukhori juga menyebutkan hadits dari Sayidatu 'Aisyah rodhiyallahu 'anha, bahw beliau pernah mendengar Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya apabila seseorang mengakui dosanya, kemudian ia bertaubat kepada Allah, maka Allah menerima taubatnya."

Begitu pula dengan Abu Hatim Al Busti telah meriwayatkan dalam kitabnya, Al Musnad Ash Shohih, dari Abu Huroiroh dan Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallahu 'anhuma, bahwa Rosulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam duduk di atas mimbar, kemudian bersabda:

"Demi Allah yang menggenggam jiwaku." 3X, kemudian Rosulullah diam. Maka setiap orang dari kami menundukan diri dengan rasa sedih atas sumpah Rosulullah itu, kemudian beliau melanjutkan sabdanya itu.

"Tidak seorang pun yang mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa Romadhon, dan meninggalkan dosa-dosa besar yang tujuh, melainkan dibukakan untuknya pintu-pintu surga yang delapan pada hari kiamat, sehingga pintu-pintu itu benar-benar bergetar."

Kemudian Beliau membacakan firman Allah Ta'al:

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang kamu dilarang mengerjakannya, niscaya Kami menghapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosa kecil)." (An Nisa': 31).

Mu'alif, Al Imam Al Qurthubi rohimahullahu ta'ala memberikan kesimpulan, bahwa dosa itu ada dua sebagaimana disebutkan dalam Al Qur-an, yaitu ada dosa-dosa yang besar dan ada juga dosa-dosa yang kecil. Jadi tidak seperti pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa semua dosa itu besar, sebagaima yang disebutkan surat An Nisa ayat 31 di atas (Lihat tafsir Al Qurthubi).

Dan bahwasanya dosa kecil itu, seperti sentuhan dan pandangan mata kepada selain mahromnya, bisa terhapus dengan menghindari dosa-dosa besar secara mutlak, berdasarkan janji Allah yang benar dan firman-Nya yang haq.

Perlu difahami, bahwa dengan mengamalkan apa yang Allah perintahkan di dalam Al Qur-an, bukan berarti Allah berkewajiban mema'afkan dan menerima taubat kita. Akan tetapi taubat kita merupakan bentuk ta'at, karena di dalamnya ada permohonan dan pengharapan yang ditujukan hanya kepada Allah, karena hanya kepada Allah kita memohon segala sesuatu, tidak ada Tuhan yang lain. Sesuai dengan perintah Allah dalam Al Qur-an dan perintah Rosul-Nya.

Hal yang harus difahami bagi seorang muslim, sebagai adab kepada Tuhannya ketika berdo'a yaitu jangan berfikir bahwa dengan berdo'a kita menyuruh Allah untuk memenuhi keinginan kita, akan tapi berdo'anya kita kepada Allah atas dasar perintah-Nya. Perkara dikabulkan atau tidaknya do'a-do'a kita itu urusan Allah, hak kita sebagai hamba-Nya yaitu berhusnudzhon kepada Allah.

Senada dengan hadits di atas tentang dosa kecil dan dosa besar, ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Huroiroh rodhiyallahu 'anhu, Nabi Sholallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Sholat lima waktu, sholat Jum'at sampai sholat Jum'at selanjutnya, dan puasa Romadhon sampai puasa Romadhon berikutnya adalah penghapus dosa-dosa antara waktu-waktu tersebut, selagi menghindari dosa-dosa besar." (Shohih Muslim).


Penutup

Sebagai penutup, Al Imam Al Qurthubi mengemukakan pendapat para ulama ahli ta'wil dan ahli fiqih dalam menafsirkan hadits di atas, bahwa dosa-dosa besar tidak bisa terhapus begitu saja, kecuali dengan bertaubat dan menghentikan diri sama sekali darinya.

Namun demikian, masih ada perbedaan pendapat tentang rincian hal yang termasuk dosa-dosa besar itu. Pembahasan tentang dosa-dosa besar insya Allah akan kami paparkan pada bab Qishosh dan ada diantaranya pada bab Neraka, sebagaimana Imam Qurthubi menyusunnya di dalam kitab At Tadzkiroh, semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishowab.

Buka Komentar

Post a Comment for "Apakah Diterima Taubatnya Orang yang Akan Meninggal Dunia?"